Sabtu, 16 Maret 2013
Humor,Badut Badut Sidang
Do you like this story?
Cerpen
Badut-Badut Sidang
Kamis, 14 Maret 2013 19:12 wib
(Ilustrasi: Feri Usmawan/Okezone)
Cerpen
Badut-Badut Sidang
Kamis, 14 Maret 2013 19:12 wib
(Ilustrasi: Feri Usmawan/Okezone)
(Ilustrasi: Feri Usmawan/Okezone)
“Tuan Hakim yang terhormat, saya yakin bahwa apa yang dikatakan Tuan itu adalah sebuah kekeliruan. Sudah saya ucapkan lebih dari 30 kali dan berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa saya bukanlah perampok toko milik Tuan tersebut. Saya kira pengacara dan saksi lainnya telah berbicara dengan gamblang dan tidak menandakan apapun pada saya tentang apa yang dituduhkan Tuan yang keliru itu."
Dalam sebuah persidangan laki-laki tertuduh perampok toko itu kembali menyangkal. Namun, pemilik toko bersikukuh dengan apa yang ia percaya, bahwa laki-laki yang duduk di kursi terdakwa itu adalah perampoknya.
Laki-laki tertuduh itu pun telah kehabisan kalimat-kalimat penuh fakta-fakta. Sudah lebih dari satu jam mereka sangkal-menyangkal. Kalimat-kalimat semacam “saya bukan perampoknya” atau “bukan saya perampoknya” atau “perampoknya bukan saya” meluncur. Hakim pun coba menerangkan kepada pemilik toko itu bahwa ia tak punya bukti yang cukup untuk menjatuhkan vonis kepada terdakwa.
“Apalagi yang harus saya katakan, Tuan Hakim! Saya tidak merampok!”
“Dia berbohong, Tuan Hakim!”tukas pemilik toko.
“Lalu kejujuran itu yang bagaimana?”balas terdakwa.
“Mengaku bahwa kau perampoknya!”
“Sinting!”
“Mulutmu kotor mirip perampok!”
“Seharusnya kutembak saja kepalamu waktu itu!”
Hakim, pengacara, jaksa, dan pemilik toko, serta hadirin lainnya terhenyak ketika laki-laki itu mengatakan kalimat terakhirnya. Laki-laki itu pun terkejut pada apa yang ia katakan. Ia salah bicara. Cepat-cepat ia meralatnya.
“Ah, maksud saya seandainya saya merampok pasti kepalanya akan saya tembak. Begitu maksud saya.”
Entah bagaimana hakim itu pun memutuskan untuk menjebloskan laki-laki itu ke dalam penjara. Pengakuan seperti itu memiliki nilai kekuatan hukum yang lebih tinggi bahkan melebihi saksi atau bukti otentik. Pengadilan itu pun selesai dengan putusan hukuman kurungan bagi laki-laki itu selama 30 tahun
Kata yang dapat mewakili nasib laki-laki itu mungkin adalah sial. Padahal ia baru saja pindah ke kota ini sebagai buruh maskapai perkapalan di pelabuhan. Niat untuk mengubah nasibnya ke kota ini memang telah terlaksana. Nasibnya sebagai orang miskin berubah menjadi seorang tahanan. Ada juga beberapa keberuntungan baginya bahwa ia tak perlu membayar kamar yang telah disewanya sejak seminggu yang lalu. Ia tak perlu bekerja dengan besi-besi tua atau kilau api dari sumbu las yang sewaktu-waktu dapat membuatnya buta.
Kini ia mendekam di penjara dan sungguh pikirannya berada di antara beruntung dan tidak beruntung. Tapi sesungguhnya ia merasa tidak beruntung.
Benar saja apa yang ia bayangkan tentang penjara dari buku-buku cerita dan cerita-cerita dari mulut ke mulut. Penjara mungkin sebuah tempat setan atau binatang atau monster yang menyaru sebagai manusia. Ia lihat orang-orang melihatnya dengan tatapan paling jahat dan penuh curiga. Tatap yang menempatkannya pada suatu tempat di mana ia kehilangan jati dirinya sebagai manusia.
Ia lihat berbagai wujud orang-orang yang kadang-kadang terlihat seperti binatang, yang kadang-kadang terlihat seperti seorang filsuf. Demi Tuhan, ia yakin bahwa ia telah pergi ke sebuah tempat yang bukan bagian dari bumi, mungkin semacam planet, bintang, atau bagian lain dari neraka. Hal yang pertama kali ia dapatkan adalah pertanyaan, “Apa yang telah kau lakukan?”
Sebuah pertanyaan yang hanya malaikat saja yang pantas menanyakannya. Sebagaimana Tuhan yang dapat menentukan derajat seorang manusia, jawaban dari pertanyaan itu pun akan menentukan di mana seseorang memiliki derajat kemanusiaannya atau lebih tepatnya derajat kejahatannya.
Laki-laki itu pun menjawab, “Saya salah bicara.”
Sebagaimana yang ia baca di buku-buku cerita atau cerita dari mulut ke mulut bahwa kaki seorang tahanan akan dirantai dan dikaitkan dengan bola baja yang berat. Begitu pulalah yang terjadi pada dirinya. Ia bekerja selayaknya pekerja paksa.
Setiap pagi ia harus bangun dan dibawa ke sebuah tambang batu bara. Di sana ia bekerja selayaknya pekerja paksa. Cambukan cemeti kerap kali ia dapatkan ketika ia merasa letih dan ingin sedikit berleha-leha. Selama lebih dari dua tahun ia bekerja seperti itu.
Setiap hari di kamar tahanannya ia menggambar pagar-pagar sebagai penanda waktu. Setiap empat batang pagar yang berdiri ia ikat dengan pagar melintang. Gambar pagar itu pun memanjang meskipun belum memenuhi salah satu bagian dari dinding kamar tahanannya. Tapi pagar-pagar itu cukup untuk membuatnya bahagia.
Ya, harapan itulah kebahagiaannya dan dari gambar pagar itulah harapannya muncul. Kelak suatu hari nanti, ketika gambar pagarnya tersebut banyak dan tak akan bisa ditambah lagi, maka saat itulah ia mendapatkan kebahagiaannya, kebebasannya.
Sudah empat tahun ia berada di rumah tahanan itu.Tepat di tahun keempat itu ia bertemu seorang tahanan baru. Segala gelagat orang baru itu menandakan bahwa ia bukanlah orang yang baru masuk tahanan alias orang yang pernah ditahan.
Betapa terkejutnya laki-laki itu ketika melihat orang baru itu. Ia seperti melihat cermin yang jernih. Orang baru itu mirip betul dengan dirinya. Demi Tuhan, betapa orang baru itu mirip betul dengan dirinya. Juga sebaliknya, orang baru itu pun terkejut dengan apa yang ia lihat.
“Si-siapa kau? Apakah kau bagian dari diri saya?”
“Siapa kau? Apakah kau bagian dari diriku? Apa yang kau tanyakan?”
Entah kebetulan atau memang direncanakan oleh Tuhan, mereka berdua begitu mirip atau mungkin sama, serupa, atau kembar. Yang menjadi pembeda ialah rambut orang baru itu yang panjangnya sebahu. Seperti sepasang kekasih, laki-laki itu menyentuh pipi orang baru itu, begitu pun sebaliknya. Mereka rasakan kulit yang sama, kulit yang agak kasar dan kemerah-merahan itu.
“Apakah ibumu bernama Dumblemin?”
“Tentu saja bukan. Ibuku bernama Gogo.”
“Lalu?”
Mereka berdua segera menyimpulkan bahwa segala kemiripan itu ialah sebuah kesalahan genetika atau rencana Tuhan yang sungguh tak mereka ketahui. Mereka pun banyak bercerita bahkan semakin merasa bahwa mereka adalah satu atau memiliki pertautan darah. Di penjara itu mereka dijuluki Si Kembar Godumb, gabungan kedua nama ibu mereka.
Hingga suatu hari sebuah pertanyaan malaikat yang lupa mereka tanyakan akhirnya muncul, “Apa yang telah kau lakukan?”
Gogo—anggap saja nama asli laki-laki itu—bercerita mengapa ia sampai di sini sebagai tahanan. Tak lain karena ia merampok sebuah toko, bukan sebuah sebenarnya. Tapi banyak toko yang ia rampok. Tak lain penyebab ia merampok ialah keluarganya yang miskin. Dan saat ini ia tak tahu bagaimana keadaan anak dan istrinya.
Ia beranggapan bahwa anak dan istrinya sudah meninggal karena kelaparan atau istrinya menikah dengan saudagar kaya—ia anggap itu lebih baik. Baginya merampok ialah cara bertahan hidup, maka tak ada satu pun dari perbuatannya yang ia anggap salah.
“Bukankah salah dan benar itu tak ada, Saudaraku? Yang ada hanyalah orang jahat dan orang tidak jahat. Bagaimana pun yang ada di sini ialah orang jahat dan orang sial. Orang jahat akan tetap jahat sementara orang sial dikutuk untuk tetap sial. Ha-ha-ha.”
Dumblemin—sebut saja begitu—bercerita tentang peristiwa di pengadilan itu, ketika kesalahucapannya mengakibatkan ia harus menjalani hukuman selama. Cerita yang menunjukan bahwa ia bukanlah perampoknya.
“Sore itu pulang dari pelabuhan dan hendak membeli roti di toko Hamham. Tiba-tiba banyak polisi di sana dan tiba-tiba pemilik toko menyebut saya sebagai perampok tokonya. Saya pun ditangkap. Saya ingat betul hari itu, bulan tiga tanggal ketujuhbelas.”
“Toko Hamham di kota Bagbag jalan Pasingdek? Empat tahun yang lalukah? Itu tanggal kelahiran Gogo, ibuku. Oh, Tuhan, maafkan dosaku dan dosa Gogo. Aku yang merampok toko itu! Oh, Tuhan, ampunilah aku!”
Demi Tuhan, laki-laki yang beribu Dumblemin terkejut atas pengakuan laki-laki—yang dianggap—saudara kembarnya itu. Ia mendapat kunci atas pintu kebebasannya yang ia tunggu. Kunci itu ada di hadapannya, ada pada seseorang yang telah ia anggap sebagai saudara. Puji Tuhan, kebahagian muncul dari matanya yang berkilauan.
“Aku butuh pengadilan dan pengakuanmu.”
“Kau pantas mendapatkannya.”
***
Persidangan atas perkara empat tahun yang lalu pun digulirkan kembali. Hakim itu pun terlihat malas memimpin persidangan. Apalagi si pemilik toko yang sudah tidak menjadi pemilik toko karena tokonya bangkrut satu tahun yang lalu.
Dumblemin yang bersemangat menghadapi kebebasannya berjalan menuju ruang sidang. Gogo dan Dumblemin bersama-sama masuk ruang sidang itu dengan pintu yang berbeda. Dumblemin melihat sesuatu yang aneh dari Gogo. Ia lihat rambut Gogo dipotong hingga mirip betul dengan dirinya, tak dapat dibedakan lagi. Firasat buruk melintas di kepala Dumblemin.
Hakim, pengacara, jaksa, hadirin, dan pemilik toko yang tak lagi menjadi pemilik toko pun terkejut atas hal yang terjadi di ruang sidang tersebut. Mereka melihat dua orang yang sama, tidak bisa lagi membedakan yang mana yang A dan yang mana yang B.
“Tuan Hakim yang terhormat, dalam sidang ini saya membawa sebuah bukti yang sangat otentik yang mengarah pada pembebasan saya sebagai tahanan. Tak lain ialah seseorang yang sebenarnya telah merampok toko milik tuan itu empat tahun yang lalu. Dialah orang yang ada di sana!”
“Ah, ini tidak mungkin orang itulah perampoknya! Ini rekayasa! Aku adalah anak dari Dumblimin, seorang buruh maskapai perkapalan di pelabuhan empat tahun yang lalu!”
“Ah, ini tidak mungkin! Sangat tidak mungkin! Ah, Bagus betul Saudara berkelit dan menyamarkan identitas Saudara sebagai saya. Saya adalah anakdari Dumblimin yang lahir tanggal keenambelas bulan delapan, seorang buruh maskapai perkapalan di pelabuhan yang pindah dari kota Cun ke kota Bagbag ini.”
Dua orang yang sama itu pun berdebat tentang identitas mereka. Sudah satu jam mereka berebut identitas. Mereka sama-sama mengakui bahwa mereka adalah anak dari Dumblimin dan seorang buruh maskapai perkapalan di pelabuhan. Dua orang yang sama itu pun berdebat tentang keabsahan data yang mereka miliki.
“Tuan Hakim, saya tahu betul kebiasaan saya setelah mandi pagi!”
“Aku tahu betul kebiasaan ibu, bapak, dan saudara-saudaraku setelah mereka mandi pagi!”
“Saya yang memberitahumu! Ah, Tuan Hakim, saya ingat betul makanan favorit ibu, bapak, dan saudara-saudara saya, yaitu roti bawang!”
“Astaga! Makanan favoritku kentang dengan serpihan kacang almond.”
“Itu makanan favorit saya!”
Entah siapa yang benar-benar menyamar atau siapa yang sebenarnya. Hakim merasa bahwa ia bukanlah orang penting dalam persidangan itu dan pemilik toko yang tidak lagi memiliki toko itu pun merasa persidangan itu tidak penting lagi baginya. Hakim itu menyuruh pemilik toko memilih di antara dua orang itu siapa yang merampok tokonya yang telah bangkrut itu.
Si mantan pemilik toko pun memilih salah satu di antara mereka tanpa pertimbangan dan alasan yang jelas. Sekonyong-konyong ia menunjuk salah satu di antara mereka.
Demikianlah, telah terpilih orang yang dinyatakan salah dan sial oleh hukum dan takdir. Ia diseret oleh petugas pengadilan menuju tahanan. Ia berteriak-teriak seperti anjing sakit sambil menujuk-nujuk muka mantan pemilik toko itu.
“Seharusnya kutembak saja kepalamu waktu itu!”
Demikianlah, di sekitar hukum orang jahat akan tetap jahat sementara orang sial dikutuk untuk tetap sial. Setelah persidangan, laki-laki itu pun kembali ke kamar tahanan dan menggambar pagar-pagar di dinding kamar tahanannya. Ia bayangkan betapa suatu saat akan penuh gambar pagar-pagar di dinding kamar itu. Ia masih punya dua puluh satu tahun lagi.
Lelaki itu kini tak peduli lagi dengan kemiripan. Kemiripan-kemiripan itu ia anggap sebagai cobaan yang muskil. Kemiripan-kemiripan itu ialah takdir dan rekayasa genetika yang akan membuat kesialannya tumbuh kekal. Ia tak percaya lagi pada kebebasan dan hal-hal lainnya di sekitar hukum.
Oleh Langgeng Prima Anggradinata
Penulis lahir di Bogor, 6 Desember 1987. Bergiat di Komunitas Seni Rumah Akasia dan Arena Studi Apresiasi Sastra ASAS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung sebagai ketua.
(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: darma_sucker66@yahoo.com)

This post was written by: Brenley Mars
Brenley is a professional blogger, web designer and front end web developer. Follow him on Twitter
0 Responses to “Humor,Badut Badut Sidang”
Posting Komentar